BUMI PERTIWI

 

BUMI PERTIWI

“Aku khawatir, kelak neraka tak akan cukup menampung para pendosa,” kata Samuji sambil mencecap cangkir kopi pertamanya sejak Yu’ Djum membuka kembali warung kopinya. Aku menggeser posisi dudukku agar lebih dekat dengan kawanku yang sedang senewen itu.

“Ada apa kok tiba-tiba sinis begitu, Cuk?” tanyaku.

“Bagaimana tidak; repot-repot kami mengundang penceramah dari kota, bukan diberikan nasehat agar kami bersikap dan bertidak lebih baik; kami malah ditakut-takuti”

“Ditakut-takuti bagaimana?”

“Kata dia; barang siapa yang namanya tidak menggunakan nama Islam, tak bakal dipanggil ke Surga oleh Allah.” Samuji mengucapkan kalimat itu dengan wajah bersungut.

“Kalau orang beribada hanya sampai pada level mencari surga dan takut neraka sepertimu, pantas gampang dikecewakan oleh pencaramah yang baru belajar ngaji, Cuk,” kata Cak Jumali menggoda. Kami tertawa. Samuji besungut-sungut.

“Kalau tak ada yang menahanku, aku suruh turun orang itu dari podium.” Samuji terlihat jengkel. “Bayangkan, betapa sesaknya neraka jika orang-orang baik juga berada di neraka hanya karena nama mereka seperti namaku, Samuji, Tugino, Samijan, dan lain-lain; nama-nama yang dianggap tidak Islam.”

“Setahuku tak ada nama-nama Islami; yang ada adalah nama-nama yang menggunakan bahasa Arab dan selain Arab, yang biasa disebut Ajam,” kata Cak Maskur. “Yang dianjurkan Nabi adalah memberikan nama yang baik; bukan memberikan nama dengan istilah atau berbahasa Arab,” lanjutnya.

Aku tahu guru ngaji itu berusaha menghibur Samuji yang terlanjur kecewa dengan kalimat penceramah yang diundangnya. Kawanku itu tak sekali ini saja dikecewakan oleh penceramah.

“Berarti nama-nama manusia melintasi agama, Cak?” Salamun penasaran.

“Betul! Orang-orang Arab, apapun agamanya; Kristen, Yahudi, bahkan penganut Marxis-Leninis menggunakan nama-nama Arab: Abdullah, Amir, atau Husein. Pemimpin Partai Sosialis Yaman pada 1987-1980 bernama Abdul Fattah Ismail; pemimpin perioded berikutnya bernama Ali Nasser Muhammad.” Cak Maskur menenggak kopinya.

“Santai, Ji; berarti aman kaplingmu di surga,” kata Salamun mengejek. Kami tertawa terbahak-bahak.

“Apakah penceramah yang sedang dibicarakan Samuji itu sama ngawurnya dengan ustadz yang mengatakan ‘haram hukumnya menyebut Bumi Pertiwi’?” Tanya Cak Jumali.

“Kalau menyebut ‘Bumi Pertiwi’ tak boleh; berarti tak boleh juga menyebut ‘Jazirah Arab’ dan ‘Madinah an-Nabi,” kata Cak Maskur sambil tersenyum. “Jazirah Arab itu artinya semenanjungnya orang Arab karena didiami orang-orang Arab. Madinah an-Nabi itu artinya kotanya Nabi karena ditempati Nabi sejak hijrah, sebelumnya bernama Yatsrib.”

“Kalau mau konsisten, harusnya disebut Jaziratu Allah dan Madinatu Allah kan, Cak?”

“Kalau mau konsisten lagi, batalkan semua nama dalam sertifikat hak milik. Setiap sertifikat harus diubah kepemilikannya; semua harus atas nama Allah, sebab bumi ini milik Allah,” kata Samuji berapi-api.

“Berarti tak boleh ada sertifikat tanah atas nama Kartono, Sularji, Wakijan, dan lain-lain, Ji?”

“Tidak!” Jawab Samuji tegas.

“Bhuahahaha.”
—————————

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top