JANGAN PANGGIL KAFIR !

JANGAN PANGGIL KAFIR!

.

Para kiai menghormati untuk tidak menggunakan kata ‘kafir’ tetapi muwathinun atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan WN yang lain,

kata Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, KH. Abdul Moqsith Ghazali di Munas Alim Ulama dan Konbes NU. Kyai Moqsith manambahkan bahwa penyebutan WNI sebagai Non-Muslim bukan untuk menghapus istilah kafir dalam Alquran maupun hadis.

JANGAN PANGGIL KAFIR !

Tak butuh waktu lama, keputusan itu disambar oleh kalangan awam maupun agamawan dengan berbagai pujian dan cemoohan. Apakah mereka semua paham tentang keputusan progresif ulama NU itu? Tidak semua! Mari aku bantu untuk memahami konteks keputusan itu, terutama konteks kewargaan dalam negara-bangsa (nation-state).

.

Konsep kewargaan (citizenship) biasanya menunjuk pada status keanggotaan seseorang dalam komunitas politik (negara). Marshal dalam “Rethinking Australian Citizenship” menyebut citizenship adalah status yang diberikan kepada orang sebagai anggota penuh dari komunitas. Ketika konsep negara-bangsa masih sangat sederhana, identitas etnik dan agama menjadi faktor penting yang menandakan keterikatan dalam sebuah komunitas politik. Kewargaan yang diletakkan di atas identitas etnik dan agama itu menciptakan warga kelas dua (second citizenship), di antara yang kita kenal adalah penggolongan warga Non-Muslim dengan berbagai sebutan kafir: Dzimmii, Mu’ahad, Musta’min, dan Harbi.

.

Bagi NU, dalam konteks NKRI sebagai negara-bangsa, penggolongan dan penyebutan kafir tidak lagi relevan, sebab mereka memilik hak dan kewajiban yang sama warga negara tak peduli apa etnis, agama, asal-usul daerah, dll. Jamiyah terbesar di Indonesia itu mencium gegalat diskrimiatif dari penggunaan sebutan kafir peda warga negara Non-Muslim.

.

Apakah menghilngkan sebutan kafir bagi warga Non-Muslim dalam komunitas politik ada presedennya dalam sejarah Islam? Ono, Cuk!

.

Piagam Madinah! Konsesi politik yang disusun di Madinah oleh para Penolong (Anshar) dan para Pendatang (Muhajirin), antara para Muslim dan Non-Muslim. Apa isi kesepakatan yang diputuskan di rumah Anas bin Malik itu?

.

Pasal 1 berbunyi “Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari manusia lain.” Siapa yang disebut umat dalam pasal 1? Suku-suku yang mendiami Madinah: Bani Auf, Bani Sa’idah, Bani Al Hars, Bani Jusyam, Bani Al-Najjar, Bani Amar, Bani, Al Nabit, dan Bani Aus. Di antara suku-suku itu adalah mereka yang beragama Yahudi. Pasal 25 menyebutkan “Kaum Yahudi dari Bani Auf adalah satu umat dengan para Mukmin. Bagi mereka agama mereka, bagi Muslim agama mereka.” Pasal 18 menyebut kewajiban Muslim dan Non-Muslim sama dalam hal mempertahankan Madinah, “Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain.”

.

Nabi Muhammad yang dalam perjanjian itu disebut oleh para peneliti Barat sebagai primus inter peres (yang utama di antara yang setara) menyepakati hak dan wajiban yang sama kepada pendudukan Madinah. Tidak ada sebutan kafir untuk warga Madinah yang beragama Yahudi, bahkan kepada sekutu-sekutu Yahudi lainnya di luar Madinah. Pasal 39 menyebut Yatsrib, nama Madinah sebelumnya sebagai kota suci bagi warga dalam perjanjian tersebut: para Yahudi maupun para Muslim, “Sesungguhnya Yatsrib adalah tanah suci bagi warga piagam ini.”

.

Dalam konteks ini, sikap teologis NU yang diputuskan dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah di atas harus dipahami dalam dua kepentingan:

1) Menjaga keutuhan NKRI dari sikap diskrimanatif antar warga bangsa;

2) Menghidupkan kembali semangat Piagam Madinah yang egaliter, setara, dan berkeadilan dalam berkeyakinan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lapangan muamalah lainnya. Ngono, Cuk!

——————————

Share tak perlu ijin!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top