MAHAKURAWA: PRAKTIK KUMUH PARA POLITISI

MAHAKURAWA: PRAKTIK KUMUH PARA POLITISI

Jika penulis Mahabharata, Begawan Wyasa hidup dan mengisahkan pertikaian Kurawa dan Pandawa pada hari ini; mungkin Kunti dan Gandari akan digambarkan sebagai dua orang ketua partai politik yang sedang berebut kekuasaan demi anak-anaknya. Kunti yang didukung oleh kelompok agamawan, mencitrakan kubunya sebagai penganut dharma yang setia, berusaha memonopoli tafsirnya, dan karenanya dia mengklaim bahwa Yudistiralah yang paling berhak atas tahta Hastinapura. Sedangkan Gandari bermodalkan garis darah yang dimiliki oleh anaknya, Suyudana; dengan menyebut Pandawa sebagai anak-anak “haram jadah” yang tak jelas siapa bapaknya, dan karenanya dia menyebut hanya sulungnyanya itu yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya; Destarata.

MAHAKURAWA: PRAKTIK KUMUH PARA POLITISI

Di tengah sengkarut perebutan kekuasan antara dua politisi perempuan itu, dua orang ahli strategi; Sengkuni dan Krisna memainkan perannya demi kepentingannya masing-masing. Banjir darah di Kurusetra; perang besar yang membunuh ribuan prajurit bisa dikatakan sebagai ulah kedua orang ini; Bisma, Dorna, Suyudana, Susasana, Karna, Aswatama, Yudistira, Bima, Arjuna, dan lain-lain hanya wayang yang digerakkan keduanya

Apa bedanya Sengkuni dengan Krisna? Sengkuni melakukan kelicikan, keculasan, dan kekejaman karena kecintaannya terhadap tanah kelahirannya. Anand Neelakantan, penulis Mahakurawa menggambarkan Sengkuni yang telah kalian kenal sebagai kecoak busuk itu adalah seorang yang dicintai rakyatnya, kesatria yang sangat mencintai bangsanya, dan pangeran yang rela melakukan apapun demi orangtuannya dan keluarganya. Setelah membaca buku ini, aku tidak yakin kalian masih membenci pangeran dari Kandahar Afganistan itu, mungkin kalian akan jatuh hati dan bersimpati dengan perjuangannya.

Krisna, siapa dia dalam Mahakurawa? Tak lebih baik dari Sengkuni, bahkan lebih tengik. Hampir semua kekejaman yang dilakukan kubu Pandawa, sebelum perang, akibat perintahnya. Pelanggaran-pelanggaran aturan perang di Kurusetra selama pertempuran berlangsung juga akibat akal bulusnya. Krisna melalukan semuanya karena alasan “demi dharma” menurut tafsirnya; dan dia mendukung Pandawa karena anak-anak Kunti itu bisa diandalkan untuk menegakkan dharma, sedangkan para Kurawa adalah kumpulan manusia perusak dharma.

Anand berhasil membuat Mahabharata menjadi drama suksesi yang sangat kompleks dan penuh intrik; bukan sekedar perebutan kekuasaan antar sepupu, juga konflik tafsir agama, perang kaum jelatah yang tersingkirkan dengan para kesatria jahat, juga praktik kelam sistem kasta di India: Brahmana, Kesatria, Waysa, Sudra, dan kelas manusia yang dianggap najis disentuh.

Aku berjanji tak akan menceritakan kisah Mahakurawa ini kepada Bapakku; dapat dipastikan dia tak akan bisa menerimanya. Dalam keyakinannya, Krisna terlalu suci untuk disebut licik, Pandawa terlalu baik untuk dikatakan kumpulan orang tak tahu malu, dan Kurawa terlalu jahat untuk disebut para pecinta perdamaian.

Aku akan menceritakan kisah ini kepada anak-anakku, bahwa Mahakurawa adalah potret buram perebutan kekuasaan; agama, suku, garis darah, perkawanan, dan lain-lain hanya alat. Dalam politik tak ada orang yang sangat baik atau orang yang sangat jahat. Politik hanya mengenal, selama orang-orang itu berada di kubu lawanmu, tak ada kebaikan secuilpun; sebaliknya, selama orang-orang itu berada di kubumu, tak ada cacat sedikitpun.

Selamat membaca kisah kita hari ini!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top