Menilik Kehidupan Buruh: Tingkat Upah vs Standar Hidup Layak

Oleh : Triana Pujilestari 

Upah menjadi isu yang selalu disuarakan buruh dari tahun ke tahun.

Tuntutan ini tak lain untuk memperoleh jaminan tercukupinya kebutuhan dan standar hidup yang layak di tengah masih minimnya penerimaan dari hasil bekerja.

Upah minimum yang dirumuskan pemerintah setiap tahun idealnya diikuti dengan penerapan di lapangan. Dengan kata lain, setiap buruh berhak mendapat upah sesuai standar yang ditetapkan. Tujuannya untuk mencukupi kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya.

Merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan upah minimum adalah upah terendah bagi buruh di tingkat terbawah yang masa kerjanya kurang dari satu tahun.

Meski demikian, belum semua buruh mendapatkan imbalan sesuai batas bawah yang ditentukan. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Februari 2021, yang disusun Badan Pusat Statistik menunjukkan, hanya sekitar lima atau enam dari sepuluh buruh yang menerima upah di atas upah minimum provinsi (UMP).

Jika ditarik ke belakang, setidaknya lima tahun terakhir, trennya cenderung menurun dan persentasenya semakin kecil. Data termutakhir yang dihimpun BPS pada Februari 2021 menunjukkan, persentase buruh (termasuk karyawan dan pegawai) dengan upah di atas UMP sebesar 50,33 persen. Artinya, hanya mencapai separuh dari total buruh yang ada di Indonesia.

Tahun sebelumnya di periode yang sama, persentasenya lebih besar, yakni mencapai 51,34 persen. Penurunan tersebut tak lain karena adanya pandemi Covid-19 yang berdampak besar pada perekonomian.

Pembatasan aktivitas masyarakat sebagai upaya mencegah penyebaran virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19 membuat permintaan menurun. Barang dan jasa yang dihasilkan dunia usaha tidak banyak tersalurkan ke konsumen karena kendala distribusi.

Roda ekonomi yang melemah itu berdampak pada menurunnya pendapatan perusahaan. Demi menjaga keberlanjutan, perusahaan mengurangi biaya operasional, salah satunya dengan pemotongan gaji karyawan.

Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada pemutusan hubungan kerja. Menurut catatan BPS pada periode yang sama, lebih dari tiga juta orang kehilangan kesempatan kerja karena bencana non-alam tersebut.

Pengeluaran per-Kapita

Sementara kebutuhan setiap orang semakin bertambah dari hari ke hari. Besarannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari semakin besarnya pengeluaran per kapita penduduk Indonesia.

Dihitung dari data pengeluaran per kapita yang dihimpun BPS, rata-rata peningkatan pengeluaran penduduk Indonesia sebesar 1,5 persen setiap tahun. Jumlah ini setara dengan Rp 151.778 per tahun, atau Rp 12.648 per bulan.
Pengeluaran per kapita pada tahun 2021 naik 1,3 persen dibandingkan tahun 2020, dari Rp 917.750 per bulan menjadi Rp 929.667.

Namun masih lebih rendah dibandingkan dengan keadaan sebelum pandemi sebesar Rp 941.583. Angka ini menjadi lebih kecil di tahun 2020 karena adanya dampak pandemi, seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat.

Jika dalam situasi normal, tanpa adanya pandemi Covid-19, rata-rata pengeluaran per kapita meningkat sebesar 2 persen. Dalam satu dekade terakhir, setidaknya naik sekitar Rp 200.000 per tahun, atau Rp 17.208 per bulan.

Disisi lain, peningkatan pengeluaran per kapita mengindikasikan taraf hidup yang lebih baik. Pasalnya, pengeluaran per kapita menjadi salah satu indikator untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia. Indikator ini menggambarkan dimensi standar hidup layak penduduk Indonesia. Rata-rata pengeluaran per kapita digunakan untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan setiap golongan ekonomi rumah tangga.

Anggota Rumah Tangga

Merujuk Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan, penetapan upah minimum yang dilakukan setiap tahun salah satunya didasarkan pada kebutuhan hidup layak. Hal tersebut merupakan standar kebutuhan hidup layak secara fisik untuk kebutuhan satu bulan seorang buruh/pekerja lajang.

Data BPS menunjukkan, rata-rata upah buruh pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan. Dengan rata-rata pengeluaran sekitar Rp 900.000 per bulan, di atas kertas sebagian besar dari upah dapat digunakan untuk menabung, investasi, atau lainnya.

Namun, realitas di lapangan sungguh berbeda. Upah bulanan yang diterima buruh tidak hanya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, tetapi juga untuk anggota lainnya dalam keluarga.
Merujuk publikasi ”Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2021” yang disusun BPS, hampir separuh (27,45 juta) dari total pekerja di Indonesia berstatus sebagai kepala rumah tangga. Pekerja ini tidak hanya terdiri dari buruh, tetapi juga pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas nonpertanian.

Dari jumlah tersebut, mayoritas memiliki anggota rumah tangga lebih dari satu. Bahkan, delapan dari sepuluh pekerja memiliki tiga hingga lima anggota rumah tangga. Paling banyak di antaranya adalah pekerja dengan empat anggota rumah tangga, yakni 34,4 persen. Jika pendapatan dalam sebulan digunakan untuk kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga, boleh jadi sangat minim sisanya, atau bahkan tidak mencukupi.

Tidak heran, setiap peringatan hari buruh selalu dipenuhi teriakan dan tuntutan kenaikan upah. Sementara upah selalu menjadi persoalan tarik-menarik kepentingan dua pihak, antara buruh dan pengusaha.

Melihat situasi ini, kehadiran pemerintah paling dinanti untuk menghadirkan solusi. Dalam waktu dekat, persoalan pandemi harus segera diatasi agar problem ekonomi menjadi lebih kondusif dan tidak membuat kondisi perusahaan dan buruh semakin tertekan.(*)

Penulis adalah Fungsional Umum di BPS Kabupaten Tuban

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top