Opini

PERANG MELAWAN RADIKALISME

PERANG MELAWAN RADIKALISME

“Perang melawan radikalisme? Gombal mukiyo!” Wajah Samuji terlihat kesal. Entah kesurupan apa kawan mainku itu, pagi-pagi nongkrong di warung kopi dan menyemburkan kekesalannya kepada kami, jamaah kopi Yu’ Djum. “Dari dulu para pejabat, temasuk presiden telah menjejali warganya dengan janji absurd sejenis itu; buktinya?” Samuji mengangkat tanganya seolah ingin menggambarkan bahwa janji itu hanya omong kosong belaka.
PERANG MELAWAN RADIKALISME
“Pelarangan HTI, apa kelanjutannya? Tak ada!” katanya. “Mereka pikir, gerakan politik yang memiliki basis ideologi seperti yang dibawa HTI bisa hilang hanya karena dilarang organisasi formalnya?” Tanyanya sambil memindai wajah kami satu persatu. “Pekok!” Makinya, entah kepada siapa.

“Jadi maumu apa, Ji?” Tanyaku kalem. “Jangan jadikan kami sebagai tempat sampah kekesalanmu kepada negara,” lanjutku.

“Coba pikirkan, alat apa yang tak dimiliki negara untuk mengamankan republik ini dari ideologi transnasional dan gerakan radikal yang mengancam keutuhan bangsa,” katanya seolah dirinya seorang aktivis gerakan kebangsaan yang sedang naik daun.

“Ji, negera ini punya perangkat hukum; ada prosedur formal yang harus patuhui oleh penegak hukum, juga ada rambu-rambu HAM yang musti diperhatikan dalam setiap penegakan hukum,” kata Salamun.

“Taik!” Samuji menghardik. “Para pelaku kekerasan yang mengatasanakan agama itu tak percaya HAM, menolak cara-cara hukum yang belaku di negeri ini, dan segala tetek bengek prosedur demokrasi,” katanya kesal.

Aku bisa memahami kekesalan kawan mainku itu. Sejak dulu narasi “menenangkan” ala pejabat semacam itu berhampuran di media, disemburkan para pejabat hanya untuk menanggapi apa yang sedang ramai diperbincangkan warganya, namun tindakan kongkrit untuk mengikis hal itu tak kunjung dilakukan; setidaknya dilakukan dengan kecepatan yang dikehendaki warga negara.

“Ji,” kata Cak Jumali dengan suara halus. “Kalau negara bertindak dengan cara mengabaikan hukum, HAM, dan prosedur demokrasi; apa bedanya republik ini dengan gerombolan para bedebah itu?”

“Kalau begitu; apa usulan Cak Jumali?” tanyaku sambil mengangkat cangkir kopiku yang tinggal ampasnya.

“Negara, dalam hal ini pemerintah bisa mulai membersihakn instansi-instansi yang berada dalam kontrolnya; kementerian, BUMN, dan TNI,” jawabnya.

“Maksudnya bagaimana?”

“Pada 2018, Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut ada 41 masjid di lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN yang terindikasi telah terpapar paham radikal. Pada Maret 2019 Kepala BNPT mengkonfirmasi hal itu; lembaga itu menyebutkan bukan hanya karyawan, pejabat di eselon strategis di kementerian juga telah terpapar radikalisme. Bahkan Menteri Petahanan, Ryamizard Ryakudu menyebutkan ada 3% anggota TNI yang terpapar radikalisme,” apaparnya.

“3% anggota TNI terindikasi terpapar radikalisme?” Salamun kaget.

“Iya, dan mungkin lebih,” tandas Cak Jumali sambil meniupkan asap kreteknya.

“Padahal Global Fire Power menyebut bahwa anggota TNI aktif dan cadangan pada 2018 berjumlah 975.750, artinya ada ribuan orang bersenjata yang telah terpapar.”

“Mengerikan!” Salamun geleng-geleng kepala.

“Dari lembaga-lembaga itulah negara harusnya memulai ‘perang melawan radikalisme’ sebelum memulai ‘perang’ di tempat lain!” kata Cak Jumali dengan wajah serius. “Bersihkan dulu BUMN, kementerian, TNI, dan kepolisian dari anasir radikal.”

“Kepolisan juga, Cak?” Gantian aku yang kaget.

“Penangkapan Bripda Nesti Ode Samili yang bertugas di Polda Maluku oleh Densus 88 beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa lembaga Kepolisian juga tak streril dari paparan radikalisme, Gus.”

“Sekolah dan madrasah juga harus dibersihkan anasir radikal, Cak,” kata Samuji menambahkan.

“Sekolah dan madrasah juga, Ji?”

“Januari 2018, Maarif Institute merilis data tentang perkembangan radikalisme di sekolah. Penelitian yang dilakukan di 6 Kabupaten dan kota di 5 provinsi di Indonesia menyebutkan bahwa radikalisme selain masuk melalui proses belajar mengajar juga melalui ekstrakurikuler. Paham itu biasanya masuk melalui guru-guru yang berafiliasi dengan kelompok atau pengajian tertentu, kemudian menyisipkan dalam proses belajar atau dalam kegiatan ekstrakurikuler,” jelasnya. “Amrizal, Inspektur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga mengatakan bahwa 14% pelajar Indonesia terpapar radikalisme melalui media daring,” imbuhnya.

“Diancuk! Horror juga kalau hal itu didiamkan negara,” pisuhku.

“Apa yang bisa dilakukan warga negara seperti kita, Cak?” Tanya Salamun.

“Sebagai warga negara yang baik, cepat kalian bayar utang kopi sebelum disemprot Djumilah, Cuk!”

“Bhakakakakaka.”
—————————-
Suka melihat bulu mata Celine Evangelistas?

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button