Urgensi Akta Kelahiran Guna Tingkatkan Pemenuhan HAM

Oleh : Triana Pujilestari 

Agar dapat tercatat sebagai penduduk suatu negara, seseorang terlebih dahulu harus dicatat dalam data kependudukan. Di sinilah peran dari akta kelahiran, yaitu sebagai salah satu media pencatatan penduduk.

Di banyak negara, akta kelahiran diperlukan untuk mendapatkan akses ke layanan dasar dan untuk memperoleh hak asasi manusia yang mendasar. Tanpa akta kelahiran, keberadaan anak akan tidak nampak bagi negara.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 88 persen anak usia 0-17 tahun sudah memiliki akta kelahiran. Menandakan bahwa hanya 12 persen anak di Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Namun, ketika angka ini dijabarkan lebih rinci menurut provinsi, terlihat ada ketimpangan yang mencolok terkait kepemilikan akta kelahiran.

Tiga provinsi dengan persentase kepemilikan akta kelahiran paling rendah, yaitu Papua dengan persentase anak yang memiliki akta kelahiran sebesar 50,40 persen, NTT (63,33 persen), dan Papua Barat (77,36 persen). Nilai ini jauh berbeda ketika dibandingkan dengan provinsi lain, seperti DIY dengan pencapaian 98,36 persen anak usia 0-17 tahun sudah memiliki akta kelahiran. Ketimpangan ini membuktikan bahwa tidak semua anak secara merata memiliki hak akses ke layanan dasar dan memperoleh perlindungan hukum.

Secara kebetulan, ketiga provinsi dengan persentase terendah tersebut juga merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu NTT dengan tingkat kemiskinan sebesar 20,99 persen, Papua Barat (21,84 persen), dan Papua (26,86 persen). Kesamaan ini mengindikasikan adanya hubungan antara kepemilikan akta kelahiran oleh anak dan tingkat kemiskinan penduduk.

Seperti satu keping mata uang, hubungan antara kepemilikan akta kelahiran oleh anak dan tingkat kemiskinan dapat dijelaskan melalui dua sisi. Pertama, anak yang berasal dari keluarga miskin cenderung memiliki peluang yang lebih rendah untuk memiliki akta kelahiran.

Orang tua miskin biasanya terkendala pada ketersediaan biaya transport, sarana transportasi yang memadai, harus menempuh jarak yang jauh menuju ke layanan pencatatan sipil terdekat, serta ketidaktahuan dan ketidakmampuan melengkapi persyaratan dalam pencatatan anak mereka. Kendala yang dihadapi terasa berat, memaksa orang tua miskin memilih tidak mencatatkan kelahiran anak.

Kedua, anak yang tidak memiliki akta kelahiran cenderung berasal dari keluarga tidak mampu.
Kepemilikan akta kelahiran sangat penting sebagai identitas anak sebagai penduduk. Jika tidak memiliki, mereka tidak akan diakui secara hukum oleh negara dan kehilangan hak-hak mereka untuk bersekolah, memperoleh pekerjaan yang layak ketika dewasa, serta memperoleh bantuan sosial pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Anak-anak ini kemudian kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka dan memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan terjerat dalam kemiskinan.

Kedua hal tersebut berkaitan satu sama lain dan terancam akan diwariskan pada keturunan dari anak-anak ini apabila rantai ketidakpunyaan akta kelahiran tidak diputuskan. Selain pada kemiskinan, kejadian yang sama juga berlaku pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Berdasarkan data BPS, Papua, Papua Barat, dan NTT masing-masing memiliki IPM sebesar 60,62; 65,26; dan 65,28. Nilai IPM ketiga provinsi ini jauh lebih rendah dari IPM nasional yang sebesar 72,29 dan berbeda lebih dari 15 poin jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. Sejatinya, ketiga provinsi ini tetap mengalami pertumbuhan manusianya, sayang pertumbuhannya tidak mampu mencapai provinsi dengan IPM tinggi yang juga terus mengalami peningkatan pertumbuhan.

Ketika menelusuri hubungan antara kepemilikan akta kelahiran dan nilai IPM, ada hubungan sebab akibat di antara kedua indikator ini. Anak yang tidak memiliki akta kelahiran tidak dapat memperoleh Jaminan Kesehatan Nasional, seperti imunisasi gratis dan KIS, yang akan memengaruhi angka harapan hidup. Angka harapan hidup merupakan komponen penting dalam mengukur panjang umur. Panjang umur seseorang berkaitan dengan seberapa jauh masyarakat atau negara, dengan penggunaan sumber daya yang tersedia, berusaha memperpanjang hidup atau umur penduduknya.
Anak yang tidak memiliki akta kelahiran juga akan kesulitan mendaftar ke sekolah.

Salah satu syarat untuk mendaftar sekolah dari jenjang taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi adalah dengan melampirkan akta kelahiran sehingga anak tanpa akta lahir terancam tidak dapat memperoleh akses ke pendidikan.

Sementara itu, kita ketahui, pengetahuan, dalam hal ini adalah tingkat pendidikan, merupakan unsur mendasar dari pembangunan manusia. Harkat dan martabat masyarakat akan meningkat apabila memiliki tingkat pengetahuan yang memadai. Pembangunan manusia belum berhasil apabila masyarakat belum memiliki tingkat pengetahuan yang memadai.
Seseorang yang tidak memiliki ijazah pendidikan dan akta kelahiran tentu akan kesulitan mencari pekerjaan yang layak. Kalaupun bekerja, kebanyakan bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah. Hal ini membuat mereka sulit keluar dari jerat kemiskinan.Hal-hal ini tentunya akan memengaruhi perhitungan dimensi standar hidup layak penduduk nanti.

Begitu banyak kegunaan dan pengaruh dari akta kelahiran dalam hidup orang banyak. Hampir di setiap urusan, mensyaratkan kepemilikan akta kelahiran. Akta kelahiran merupakan kebutuhan administrasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Hingga kini, pemerintah kian mempermudah proses untuk memperoleh akta kelahiran.

Sekarang giliran kesadaran masyarakat, terutama yang berasal dari golongan menengah ke bawah, yang harus ditingkatkan. Sebab, intinya, seseorang supaya bisa menikmati hak-hak ataupun meminta perlindungan sebagai warga negara, haruslah terlebih dahulu tercatat sebagai penduduk negara tersebut.(*)

Penulis adalah Fungsional Umum di BPS Kabupaten Tuban

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top