YU’ DJUM PULANG HAJI
.
“Warung masih tutup, Cuk!” Cak Jumali jengkel. Suaranya terdengar dari dalam rumah.
.
Kami sengaja menggedor pintu warung kopi karena tempat kami bicara politik, negara, agama, filsafat, dan berbagai hal yang tak penting lainnya tutup sejak Yu’ Djum pergi haji. Warung kopi Yu’ Djum tutup sejak pemiliknya berangkat haji. Sebulan yang lalu Yu’ Djum telah datang dari Arab, tapi warung kopi tetap tutup; pagi ini terpaksa pintu warung kami gedor.
.
“Ojo kelonan terus, Cak; Yu’ Djum juga perlu jualan kopi,” Samuji cengengesan. Cak Jumali keluar rumah, sambil mengangkat sarungnya seolah mau mengjar kami, dan melemparkan asbak kepada kami. “Diancuk!” Pisuhnya. Tawa kami pun pacah. Kami berhasil memancing “begawan” politik itu keluar rumah sejak istrinya pulang haji. Kami duduk melingkar di teras rumahnya.
.
“Tak ada lagi yang perlu didiskusikan; UU KPK, RKUHP, kerusuhan di Papua, demontrasi lucu para mahasiswa, penculikan Ninoy, pelantikan presiden baru, semua akan berjalan sesuai yang kalian dengar dan lihat di televisi. Kecuali ada hal luar biasa,” kata Cak Jumali dengan wajah seolah-olah jengkel.
.
Kami tahu Cak Jumali senang kami datang di rumahnya, hanya kamilah tempat dia memuntahkan opini, ide, dan pikiran aneh di kepalanya. Tanpa kami, Cak Jumali tak punya tempat membuang “sampah opini” yang bersarang di kepalanya.
.
“Tunggu dulu, Cak; hal luar biasa? Perisiwa apa?” Salamun mengejar.
.
“Aku belum mau bicara politik, warung masih tutup.”
.
“Apa hubungannya, Cak?” Tanyaku.
.
“Saat ini kalian tamuku, bukan pelanggan warung kopi istriku,” katanya, tanpa bisa menyembunyikan senyum liciknya. “Kalau sekarang kita bicara politik, habis persediaan kopi di rumah ini, gratis pula,” lanjutnya. Kami tertawa bersamaan.
.
“Baiklah, kalau kami tak boleh bicara politik karena terkait dengan kopi; kami mau tanya tentang kepergian Yu’ Djum saat berhaji kemarin,” Samuji mulai memancing Cak Jumali dengan tema yang telah kami siapkan.
.
“Apa itu?” tanyanya tak sabar.
.
“Mengapa Cak Jumali tak menyertai Yu’ Djum pergi ke tanah suci; masa kalah dengan Kang Wardi?” Samuji menyebut nama Haji Wardi, orang yang membuat Cak Jumali tersengat egonya.
.
“Diancuk! Tak usah membandingkan aku dengan orang lain,” hardiknya. “Aku sengaja tak mau menyertai istriku ke tanah suci karena soal idealisme,” katanya sambil menghembuskan asap kreteknya.
.
“Idealisme atau..?” Samuji masih terus memancing.
.
“Dengarkan baik-baik; aku tak akan pergi haji selama Tanah Hijaz dikuasai oleh Saudi!” sambarnya.
.
“Mengapa, Cak?”
.
“Lihatlah perlakuan Saudi terhadap Yaman, perhatikan bagaimana Saudi menjadikan haji sebagai alat tawar menawar politik, dan bacalah sejarah, bagaimana dulu tanah Hijaz; termasuk Makkah dan Madinah direbut Saudi dari Turki Ustmani.”
.
Kami tahu umpan telah dimakan Cak Jumali. Perbincangan tak bakal singkat. Kami memilih diam menunggu ceramahnya.
.
“Sampai April 2019, perang yang dilancarkan Arab Saudi dan sekutunya telah membunuh 70.000 warga Yaman dan mengakibatkan 14 juta orang kelaparan,” paparnya bersemangat. “Apa yang dilakukan umat Islam di Indonesia terkait dengan kelaparan di Yaman?” tanyanya. “Tak ada, penderitaan Bangsa Yaman tak laku dijual oleh para politisi Indonesia,” katanya sinis.
.
“Bagaimana ceritanya haji menjadi alat politik Saudi, Cak?”
.
“Iran dan Qatar pernah menjdi korban politik Saudi saat mereka sedang berkonflik; quota jamaah haji mereka dibatasi. Pada 1960, Raja Faisal pernah menekan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) agar memberikan privilege kepada Saudi dalam organisasi itu melalui quota haji sebagai alat bargaining,” jelasnya. “Apa kalian tak merasa ajaib, ibadah yang diperintahkan agama digunakan sebagai alat politik?” tanyanya sebelum menyeruput kopinnya yang hampir tandas.
.
Aku tak menyangka, suami tukang kopi itu mengikuti perkembangan politik Saudi. Namun aku curiga alasan kepergian Yu’ Djum ke tanah suci tanpa disertai suaminya. Dugaanku, kemungkinan bukan alasan idealisme seperti yang disampaikan Cak Jumali, pasti ada alasan lain.
.
“Terus soal sejarah perebutan tanah Hijaz?” Ganti Salamun yang bertanya. Cak Jumali tak menjawab, dia melirik ke arahku. Aku tahu dia ingin aku yang menjelaskan bagian itu. Aku tak langsung menjawab tapi menepuk paha Cak Maskur, guru mengaji itu tahu kalau saatnya dia yang bercerita.
.
“Kok aku?” Cak Maskur celingukan. Kami tersenyum menunggu Cak Maskur misuh. Ternyata guru ngaji itu betul-betul tak mau misuh.
.
“Ayo, Kur; kisahkan kepada kami bagaimana Saudi merebut tanah Hijaz,” kata Cak Jumali memerintah.
.
“Tanah Hijaz dulu dalam kekuasaan Turki Ustmani sampai pada awal abad ke 19 Saudi merebutnya; dengan cara yang sangat biadab.”
.
“Biadab bagaimana, Cak?”
.
“Pada 1803, untuk merebut Thaif mereka membantai ribuan penduduknya, menyembelih bayi-bayi dan para perempuan hamil. Cerita ini direkam dalam kitab ‘Kasyf al-Irtiyab’ karya Muhammad Muhsin. Ahmad bin Zaini Dahlan dalam ‘Khulasat ul-Kalam fi Bayan Umara il-Balad il-Haram’ menyebut korban pembantaian itu juga termasuk para syarif dan para renta. Mereka juga mengijak mushaf Al-Quran dan merobek kitab-kitab hadist.” Cak Maskur mengentikan kisahnya. Guru ngaji itu sedikit emosional saat mengatakan: menyembeli bayi-bayi dan para perempuan hamil. “Pada 1803-1805 mereka menyerang Makkah. Pembantaian di kota suci yang menelan korban ribuan ini direkam dalam kitab ‘Sidqu al-Akbari fi Khawariji al-qorni ats-Tsani ‘Asyar’ karya Abdullah bin Syarif Husain, juga dalam ‘Unwan al-Majdfi al-Tarikh Najd’.”
.
“Sampi begitu, Cak?”
.
“Ya, mereka melakukan semua itu dengan teriakan takbir.”
.
“Kekejaman apa yang melebihi kebrutalan politik dengan agama sebagai alatnya?” Tanya Cak Jumali.
.
Kami tak menjawab pertanyaan Cak Jumali. Kisah Cak Maskur tentang menaklukan tanah Hijaz oleh klan Saudi begitu menghentak kami.
.
“Cak Jumali yakin karena alasan-alasan itu sehingga tak menyertai Yu’ Djum pergi haji?” Pertanyaan Samuji
menyadarkan kami; bahwa kita sedang membicarakan alasan Cak Jumali tak pergi haji, bukan tantang sejarah Saudi.
.
“Ora, Cuk; uangnya memang tak cukup,” jawabnya sambil cengengesan.
.
“Bhuahahahaaa!”
———————————
0 Comments