1998 : SEANDAINYA PRABOWO JADI KSAD

1998: SEANDAINYA PRABOWO JADI KSAD
.
Sejarah tak jarang berulang. Beberapa peristiwa sejarah bahkan sengaja untuk diulang. Indonesia hampir mengulangi pergolakan politik 1965-1966 dengan peristiwa yang terjadi pada 1983 dan 1998. Tulisan ini adalah salah satu dari dua peristiwa dimaksud.
.
12 Mei 1998,

Tragedi 12 Mei 1998
Tragedi 12 Mei 1998

setelah penembakan kepada para mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta mencekam. Pecah kerusuhan yang memakan korban tak sedikit. Sutiyoso, gubernur Jakarta saat itu menyebut 4.939 bangunan terbakar, termasuk 1026 rumah penduduk, dan 2006 kendaraan hangus. Kerugian ditaksir mencapai 2,5 triliun. Puspen ABRI (sekarang Puspen TNI) menyebut korban jiwa mencapai 500 orang, sedangkan Pemda Tangerang mencatat lebih dari 100 jenazah terbakar. Dollar mencapai Rp. 17.000, inflasi 70%.
.
21 Mei 1998,

Presiden suharto lengser

Suharto menyatakan lengser, mengundurkan diri setelah kekuasaan yang secara de facto digenggamnya sejak 1966 sampai 1998 rontok . Habibie menerima kekuasaan dari penguasa Orde Baru dengan tumpukan persoalan: ekonomi, keamanan, politik, dan sosial.
.
22 Mei 1998,

Jenderal Besar (Purn) A.H. Nasution
Jenderal Besar (Purn) A.H. Nasution

pagi hari Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI Kivlan Zen dan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR menemui Jenderal Besar (Purn) A.H. Nasution atas perintah Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo untuk menandatangani surat yang telah ditulis Jenderal Kivlan. Pak Nas yang saat itu dalam keadaan sakit langsung menandatangani surat tersebut. Surat itu berisi permintaan kepada presiden Habibie agar:

1) Jenderal TNI Sugabyo HS diangkat sebagai Panglima ABRI;

2) Jenderal TNI Wiranto diangkat menjadi Menteri Hankam;

3) Letjen TNI Prabowo Subianto sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD); dan

4) Dilakukan pemisahan antara Panglima ABRI dan Menteri Hankam.
.
Surat yang telah ditandatangani Pak Nas itu dibawa oleh kedua jenderal tersebut ke Patra Jasa Kuningan, rumah kediaman Presiden Habibie. Mereka tahu bahwa Jenderal Nasution (Pak Nas) adalah orang yang sangat dihormati Habibie. Bukan jabatan KSAD yang didapatkan Letjen Prabowo, tapi kedudukannya sebagai Panglima Kostrad yang baru dijabatnya salama 63 hari justru dipaksa untuk dilepaskan, diserahterimakan hari itu juga kepada Mayjen Johny Lumintang. Pencopotan itu karena laporan Jenderal Wiranto kepada Presiden Habibie tentang pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta menuju ibu kota. Presiden tak mau ambil resiko, lebih-lebih setelah ada laporan bahwa ada konsentrasi pasukan Kopassus di lingkungan kediaman presiden.
.
Anda pasti bertanya, mengapa Prabowo menginginkan jabatan sebagai KSAD? Sebagai Panglima Kostrad, Prabowo tidak memiliki wewenang menggerakan pasukan untuk melakukan operasi. Dalam Prosedur Tetap (Protap) ABRI segala perintah operasi: tempur maupun intelijen harus berasal dan sepengetahuan Panglima ABRI. Perintah tempur misalnya turun dari panglima kepada pelaksana melalui Asisten 2/Operasi Panglima ABRI. Pelaksanaannya dilapangan di Bawah Perintah (BP) komando kewilayahan Komando Daerah Militer (Kodam). Tugas Panglima Kostrad hanya bersifat pembinaan dan penyiapan pasukan untuk diberikan kepada Panglima Kodam saat operasi militer berlangsung.

Prabowo di pecat
Prabowo di pecat

Apa yang terjadi seandainya permintaan Prabowo kepada Presiden Habibie untuk menjadi KSAD disetujui?

Simaklah kisah mertuanya di tengah kemelut politik 1965-1966, sebagai panglima Kostrad yang sedang menjalankan tugas sementara sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dan setelah resmi menjadi Men/Pangad.

1 Oktober 1965, 

pkl 19.00 WIB Jenderal A.H. Nasution, Mayjen Pranoto Reksomasudro, Mayjen Suharto, Mayjen Mursyid, Mayjen Satari, dan Brigjen Umar Wirahadikusuma mengadakan rapat di Markas Kostrad. Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan bahwa Mayjen Pranoto mulai hari ini ditunjuk menjabat sebagai caretaker Men/Pangad setelah Jenderal A. Yani diyakini menjadi salah satu korban Gerakan 30 September (G30S). Setelah mendengar penjelasan Pak Nas, Mayjen Pranoto meminta Pangkostrad Mayjen Suharto menggantikan sementara memimpin AD untuk memulihkan ketertiban.

1 Oktober 1965,

pkl 21.00 WIB Mayjen Suharto menyampaikan pidato melalui RRI. Salah satu isi menyatakan bahwa dia telah mengambil alih kepemimpinan AD. Pkl 23.55 WIB Markas Kostrad baru menerima Surat Perintah Presiden Sukarno, salah satunya tentang penetapan Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai pelaksana tugas sehari-hari AD. Merasa mendapat wewenang yang diberikan oleh Mayjen Pranoto bersifat resmi melalui surat perintah presiden, Mayjen Suharto langsung tancap. Pkl 24.00 WIB dia mengirim 5 kompi berkekuatan 600 prajurit dari kesatuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk merebut Lapangan Udara Halim Perdanakusuma.
.
16 Oktober 1965,

Presiden Sukarno melantik Majyen Suharto menjadi Men/Pangad dengan pangkat Letnan Jenderal (Letjen). Suharto resmi menggantikan Mayjen Pranoto Reksosamudro. Mandat yang diberikan kepada Suharto sebagai Men/Pangad adalah membuat AD lebih kompak dan lebih kuat. Tak menunggu berganti hari, Suharto langsung memerintahkan RPKAD bersiap menuju Jawa Tengah untuk menumpas sisa-sisa kelompok G30S di Surakarta, Klaten, dan Boyolali. Berapa ribu korban jiwa selama operasi di Jawa Tengah itu? Anda bisa membacanya dari banyak sumber.
.
11 Maret 1966,

Presiden Sukarno
Presiden Sukarno

Presiden Sukarno menggelar rapat paripurna di istana Merdeka Jakarta. Di Tengah rapat Kolonel Bambang Wijanarko, salah seorang ajudan presiden menyampakan secarik kertas, isinya: ada pasukan tak dikenal sedang menuju istana. Pkl 13.00 WIB Jenderal Basuki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Mahmud tiba di istana Bogor menemui Presiden Sukarno. Tiga orang utusan Suharto meminta kepada presiden agar memberikan wewenang lebih kepada Suharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
.
Perundingan yang berlangsung penuh perdebatan berakhir pkl 20.30 WIB. Surat yang ditandatangi presiden itu isinya memberikan kewenangan untuk:

1) mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya pemerintahan, menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden;

2) melakukan koordinasi dengan panglima angkatan-angkatan lain; dan

3) melaporkan segala sesuatu bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawab di atas. Surat perintah yang dikenal dalam sejarah sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu dianggap oleh Suharto sebagai pemberian mandat dan wewenang sebagai pejabat presiden, pkl 04.00 Suharto langsung mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) atas nama Presiden Sukarno.

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

.
Apa yang terjadi setelah Supersemar itu ada di tangan Suharto? Indonesia berada di tangannya selama 32 tahun! Jenderal dari Kemusuk itu melakukan segala cara agar tetap bisa berkuasa, termasuk saat pergolakan politik pada 1998. Apa yang terjadi seandainya Presiden Habibie memberikan jabatan KSAD kepada Panglima Kostrad saat itu? Tak usah dijawab!
———————————–
Sumber tulisan:

1) “Sintong Panjahitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” Karya Hendro Subroto;

2) “Kronik ’65: Catatan Hari per Hari Peristiwa G30S Sebelum Hingga Setelahnya (1963-1971)” Karya Kuncoro Hadi dkk.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top