Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup: Relevansinya dengan Kehidupan Demokrasi Indonesia Saat Ini

Penulis: Sakdulah (Anggota PPS Desa Tanjungsari, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang)

SUARADATA.com-Setahun menjelang pemilu, suhu dunia perpolitikan selalu meninggi.

Seolah menjadi sebuah tradisi, satu tahun sebelum bergulirnya Pemilihan Umum (Pemilu), agitasi-agitasi politik dan beragam manuver elite politik menjadi sebuah hal yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Bukan sebuah hal yang aneh memang. Karena setahun menjelang pelaksanaan Pemilu di level apapun, kunci kemenangan selalu berada di waktu-waktu ini.

Demikian halnya dengan tahun 2023 yang menjadi gerbang persuasi para kontestan pemilu untuk menggaet suara sebanyak-banyaknya pada tahun depan. Pada hakikatnya pemilu sendiri merupakan manifestasi dari demokrasi yang dilaksanakan oleh negara sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, Pemilu merupakan wujud nyata dari kekuatan rakyat seperti yang termaktub dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 2, di mana dengan jelas dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (meskipun nantinya) dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.

Sejauh ini Indonesia telah melaksanakan 12 kali pemilihan umum sejak pertama kali dilakukan pada tahun 1955. Dengan demikian, tahun 2024 mendatang, adalah kali ke 13 Pemilu yang akan dilaksanakan di negeri ini. Menurut sejarah penyelenggaraannya pesta demokrasi ini telah berganti komponen sistemnya sebanyak tiga kali. Setelah dijalankan dengan sistem komponen proporsional pada tahun 1955. Pemilu selanjutnya berganti menjadi bersistem proporsional tertutup-distrik pada tahun 1971 hingga 1999. Selanjutnya, pada tahun 2004 hingga sekarang, pemilu di Indonesia menganut sistem proporsional terbuka.

Mengutip Fadlurrahman Jurdi dalam bukunya berjudul “Pengantar Hukum Pemilu” dan Sigit Pamungkas dalam bukunya “Perihal Pemilu”, sistem proporsional atau yang disebut juga sebagai multi member constuenty berarti akan ada kemungkinan penggabungan partai ataupun koalisi untuk mendapatkan kursi. Sementara yang membedakan antara terbuka dan tertutupnya sistem proporsional terletak pada hak memilih yang dilakukan oleh para voters. Dimana dalam sistem proporsional terbuka para pemilih memiliki hak untuk memilih langsung wakil-wakil legislatifnya. Kemudian, pada sistem proporsional tertutup, para pemilih hanya bisa memilih partai politiknya saja.

Dua sistem proporsional di atas memiliki beragam kekurangan dan kelebihan tersendiri. Namun, garis besarnya adalah, dalam sistem proporsional terbuka masyarakat memiliki hak mutlak untuk menentukan wakil mereka di parlemen. Karena mereka memilihnya secara langsung, sementara di sistem proporsional tertutup, penentuan wakil di parlemen secara mutlak menjadi milik partai.

Dengan beragam kepentingan dan segala kekurangan serta kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem, maka tak mengherankan jika pada akhirnya hal ini menjadi salah satu isu strategis untuk dimainkan menjelang guliran pemilu tahun depan. Kehidupan masyarakat pasca reformasi yang lebih familiar dengan sistem pemilihan proporsional terbuka, digoyang dengan isu-isu serta wacana untuk mengembalikan sistem pelaksanaan pemilu menjadi proporsional tertutup. Tak main-main, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah melaksanakan uji materi Sistem Pemilu pada 17 Januari 2023 lalu dengan merilis tulisan berjudul “14 Alasan Mengembalikan Pemilu ke Sistem Proporsional Tertutup”.

Dari empat belas materi yang diujikan tersebut, MK menitikberatkan pada dua hal mendasar, yakni permasalahan biaya dan peranan partai politik yang semakin terkebiri serta hanya sekadar alat legitimasi administrasi saja. Dengan kata lain, MK menilai pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional tertutup semakin membuat politik transaksional semakin massif. Dan para petarung parlemen rentan melakukan cara-cara illegal untuk menggaet suara terbanyak. Maka tak jarang, komodifikasi pemilu semakin terlihat nyata nan vulgar, dan membuat pemilu yang hakikatnya digunakan sebagai sarana untuk mencetak wakil-wakil rakyat yang berkompeten, justru tereduksi dengan hadirnya para wakil rakyat yang muncul dengan kekuatan modal material (uang dan kekuasaan).

Hal ini juga berdampak lurus dengan melambungnya biaya penyelenggaraan pemilu. Dimana beragam formulir yang harus disediakan oleh negara untuk Pemilu, bisa mencapai triliunan rupiah. Belum lagi jika negara harus berhitung soal anggaran penyelenggara, serta beragam tahapan bertingkat dari awal hingga pasca pemilu yang tentu jumlahnya tak main-main.

Namun, beda MK, beda pula dengan pemikiran awam masyarakat. Ditataran akar rumput, para pemilih yang familiar dan nyaman dengan sistem yang berjalan saat ini. Tentu lebih menginginkan proporsional terbuka. Alasannya pun tak muluk-muluk. Para pemilih memiliki sentimen emosional dengan wakil-wakil yang mereka pilih secara langsung. Yang mana secara logika akan membawa aspirasi serta keresahan mereka di tingkatan elite politik.

Sehingga, tak mengherankan jika pada akhirnya, muncul nama-nama baru di percaturan politik negeri ini. Karena mereka bisa saja hadir serta tumbuh dan besar dari bawah bersama dengan para pemilih secara langsung. Pun demikian di sisi para pemilih dengan sekuat tenaga mereka akan mengusung. Lalu, memperjuangkan pun memenangkan sang kader yang diharapkan bisa membawa keresahan harian mereka. Serta memberikan pemecahan masalah yang dihadapi saat menjabat nanti.

Sayangnya, hal ini harus ditebus dengan politik transaksional yang kerap kali diwarnai dengan tingginya potensi terjadinya money politik atau politik uang di lapangan.

Namun, dimata masyarakat awam, hal ini lebih logis jika dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup. Pasalnya, para wakil rakyat yang duduk di parlemen ataupun legislatif nantinya akan didominasi oleh kader yang memiliki kedekatan dengan para elite partai politik. Bukan mereka yang memiliki kedekatan dengan rakyat kebanyakan.

Sistem pemilihan proporsional tertutup dan terbuka masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Negara ini pun telah merasakan keduanya semenjak awal digelarnya pemilu. Jadi, masih akan premature untuk menyatakan sistem A lebih baik daripada sistem B, atau sistem B lebih baik daripada sistem A. Karena bagaimanapun, keduanya memiliki relevansi di kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia, serta memiliki harga yang harus dibayar oleh keduanya.(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top