Kilas Peristiwa

Mahasiswa di Jatim Kritik Pedas Perseteruan Khofifah dan Risma

Foto: Istimewa.

SURABAYA, SUARADATA.com-Organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus Jawa Timur, seperti GMKI, GMNI, HMI, IMM, KAMMI dan KMHDI kembali mengeritik perseteruan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya, Tri Risma Maharani soal bantuan mobil PCR dari BNPB.

Dalam releasenya, mahasiswa Jatim itu menilai Khofifah dengan Risma tidak memiliki hubungan harmonis. Bahkan, perseteruan mereka dianggap membuang waktu dan energi. Pasalnya, dimasa pandemi covid-19 ini seharusnya mereka berdua bekerja sama menyelesaikan persoalan yang ada.

“Mengingat Kota Surabaya yang banyak pasien positif, jadi seharusnya mereka berdua duduk bersama dan saling komunikasi yang baik,” ujar Ketua Umum GMNI Jawa Timur, Nabrisi Rohid kepada SUARADATA.com, Sabtu (30/5/2020).

Menurut Naha panggilan akrabnya Ketum GMNI Jatim itu, perseteruan yang dipertontonkan dimuka publik tersebut dinilai tidak pantas. Apalagi mereka berdua merupkan publuk figur dan tokoh kuat di Jawa Timur.

“Ya seharusnya duduk bersama dan menjalin komunikasi yang baik, terutama menanggulangi pandemi covid-19 ini. Bukan malah saling semprot sat usama lain,” saran Naha yang juga alumnus Magister Teknologi Pendidikan Universitas Adi Buana (Unipa) Surabaya itu.

Hal yang sama disampaikan Andreas selaku Ketum IMM Jatim. Ia menilai, polemik tersebut bisa membuat masyarakat semakin resah ditengah pandemi yang sedang melanda ini. Melihat kondisi ini semua berharap instansi pemerintahan harus berkerjasama dan gotong royong dalam memerangi penyebaran Covid-19 di Jawa Timur.

“Harusnya, Pemprov Jatim bisa memaksimalkan penggunaan mobil PCR tersebut di Kota Surabaya. Mengingat banyaknya jumlah pasian Covid-19 di kota tersebut. Tapi kalaupun Pemprov menilai harus dialihkan. Ya harusnya koordinasi yang baik lah, ini kan kacau komunikasinya,” terangnya.

Disamping itu, Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya harus lebih serius dalam menangani Covid-19 di Jawa Timur dan Surabaya sebagai pusat lonjakan pandemi akhir ini. Oleh sebab itu, mahasiswa di Jatim mengutuk keras apa yang terjadi baru-baru ini mengenai bantuan mobil PCR dari BNPB tersebut.

“Jangan sampai kedepan terulang lagi. Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tapi kalau gaya komunikasinya dipertontonkan ke publik begitu kan tidak etis sebagai elit pemimpin,” sambung, Ketum GMKI Jatim, Ridwan.

Kritikan pedas juga berasal dari Ketua Umum KAMMI Jawa Timur, Rijal. Menurut dia, bertambahnya korban positif di Jawa Timur seharusnya jadi evaluasi besar bagi penerapan PSBB. Bahkan, sebaiknya membangun sinergi yang baik dengan semua elemen pemerintah daerah. Sehingga, timbul langkah bersama yang cepat dan tepat untuk menghentikan penyebaran virus korona.

“Bukannya saling tuding dan saling serang. Ini malah kontraproduktif dengan penanganan covid-19 yang seharusnya bisa dilakukan bersama,” paparnya.

Sementara itu, Ketum KMHDI Jawa Timur, Arya menuturkan, sejauh ini PSBB di Surabaya Raya tidak efektif dengan melihat rantai perkembangan Covid-19 yang naik. PSBB yang terus diperpanjang tanpa melakukan evaluasi sebelumnya, maka menyebabkan kebijakan ini menjadi tidak efektif. Oleh sebab itu, dua tokoh perempuan di Jatim itu perlu duduk bersama mengenai bantuan mobil PCR tersebut.

“Ya harus duduk bersama, bukan malah berseteru yang didengar publik luas,” pungkasnya.

Sedangkan, Ketua Umum HMI Jawa Timur, Yogi Pratama menyampaikan, harus ada langkah strategis yang harus diambil oleh kedua pemimpin tersebut. Pertama, Gubernur dan Walikota harus bisa membedakan urusan musibah kemanusiaan dan urusan politik. Jangan semua urusan dijadikan panggung politik untuk mengambil simpati dari masyarakat. Apalagi saling menjatuhkan satu sama lain.

“Saya melihat musibah kemanusiaan ini dijadikan panggung politik untuk beratraksi saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain,” cetusnya.

Jika seperti itu maka akhirnya kebijakan yang diambil mengarah ke kalkulasi politik. Sehingga, menguntungkan eskalasi politik diantara gubernur dan walikota. Bukan kebijakan yang mengedepankan pemberantasan Covid-19. Jangan heran kenapa Jatim peringkat tertinggi di Indonesia dan Surabaya paling tinggi di Jatim.

“Kedua, kami meminta pemprov jatim dan tim Satgas Covid-19 membuat dan menyajikan Kurva Epidemic Covid-19 yang sesuai standart sesuai ilmu epidemiologi,” lanjutnya.

Kata dia, data kurva epidemic bisa digunakan untuk menjelaskan perjalanan epidemic. Bahkan, bisa menentukan sumber dan kapan penularan terjadi. Selain itu, dapat menentukan puncak sampai memperkirakan kapan pandemi ini berakhir.

“Gubernur dan Tim Gugus Covid-19 Jatim memang mengklaim mempunyai Kurva Epidemik. Tapi Kurva tersebut tidak transparan menampilkan data tersebut. Karena tanpa transparansi data dan kurva epidemik yang baik. Hari ini kita ibarat berperang tanpa mengetahui berapa jumlah pasukan kita, kemampuan kita, dan sejauh mana logistik lawan kita,” kata Yogi panggilan akrabnya.

Lanjut yang ketiga, sebaiknya Pemprov harus memasifkan tes di daerah yang menerapkan PSBB seperti Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Rapid tes yang dilakukan masih rendah didaerah tersebut. Yakni belum sampai 1 persen dari jumlah populasi 6,5 juta di tiga daerah tersebut.

“Sebaiknya harus gencar melakukan rapid test, jika sudah diditeksi secepatnya dilakukan PCR Swab dan dilakukan penindakan penyembuhan,” tutupnya.(Dy/And/Red)

Suara Data Network

assalamualaikum

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button