Wacana Penataan RTH di Malang Dapat Kritikan

Lokasi kuliner di Jalan Pulosari Kelurahan Gadingkasri Klojen. Salah satu ikon kuliner di Kota Malang yang akan dirubah jadi RTH, Kamis (17/06/2021). Foto : Afd

MALANG, SUARADATA.com-Kebijakan Pemkot Malang dalam mewacanakan Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di lahan usaha kuliner Jalan Pulosari dan Jalan Rajekwesi Kelurahan Gadingkasri, Klojen Kota Malang mendapatkan kritikan dari berbagai pihak.

Padahal usaha kuliner tersebut sudah berjalan dari 1990 hingga sekarang ini. Namun, dengan kebijakan tersebut ternyata dikeluhkan oleh 35 pedagang serta dikritisi anggota DPRD setempat.

Keluhan itu diutarakan seorang pedagang olahan makanan matang tanpa sebut nama. Ia mengatakan, usaha di Jalan Pulosari dan Rajekwesi ini adalah hasil penempatan mantan Wali Kota Malang Soesamto pada 1989 silam.

“Kami di sini bukan tanpa sebab (dadakan). Para PKL ditata dan ditempatkan oleh Wali Kota Soesamto,” jelas pria usaha makanan matang ini.

Ditambahkan pula, para pedagang di sini juga mengeluarkan biaya selama tiga tahun berturut-urut sejak berdirinya kuliner ini. Sebab, bangunan ini dibangun oleh Pemkot, tapi pedagang membayarnya lewat bank daerah selama tiga tahun.

“Waktu itu sekitar biaya Rp 60 ribu kalo gak salah nilainya. Jadi bangunan ini adalah milik pedagang,” terang dia saat ditemui, Kamis (17/6/2021).

Bahkan, para pedagang pertahunnya dikenai biaya sewa retribusi sebesar Rp 120 ribu dan itu tergantung luas sewa dan jenisnya. Dari 35 pedagang yang ada di sini, hanya satu orang yang berhasil mensertifikatkan.

“Yakni sertifikat hak guna bangunan (SHGB),” gamblangnya.

“Perlu diketahui, lahan di Jalan Pulosari dan Rajekwesi ini sebagian dimiliki beberapa mantan pejabat penting Pemkot Malang. Disisi lain, wacana akan menjadi RTH sudah sejak Wali Kotanya abah Anton,” tambah pria asal wilayah Pantura ini.

Sementara itu, Wali Kota Malang Sutiaji dalam rapat paripurna menyampaikan, lahan yang ada di Jalan Pulosari dan Rajekwesi memang sudah waktunya. Mestinya berubah menjadi pilihan untuk RTH. Karena kawasan itu merupakan sistem sewa asetnya memakai kebijakan lama.

“Adanya rencana penataan RTH, maka retribusi sewa asetnya sudah tidak dilakukan pemungutan. Perubahannya tengah dikaji di internal Pemkot, dan ketika sudah masuk keutamaan RTH, nantinya sudah tidak bisa dilegalkan,” tandasnya.

Kepala BKAD Kota Malang, Subkhan menambahkan, pihaknya masih mengkaji lebih dalam lagi akan penataan RTH di sana. Mengingat lahan tersebut masih dimanfaatkan oleh banyak orang untuk usaha kuliner.

“Hal inilah yang masih menjadi salah satu pembahasan atau pemikiran kami,” tambah Subkhan.

Subkhan kembali menyebutkan, terakhir kalinya Pemkot memungut retribusi kepada pedagang yakni tahun 2015 lalu. Sehingga, sudah berjalan 6 tahun retribusi sewa ditiadakan.

“Dan dari hasil penyewaan aset lahan di Pulosari dan Rajekwesi hanya sekitar Rp 4,6 juta/tahun,” bebernya.

Terpisah, Sekretaris Komisi B DPRD Kota Malang, Arif Wahyudi menegaskan, Perda nomor 2 tahun 2006 kawasan tersebut diperbolehkan untuk perdagangan. Sedangkan, di RDTR kawasan Malang Tengah tergambar kawasannya memang harus ada saluran air.

“Untuk itu, saya tidak sepakat kalau tiba tiba lahan itu dirubah menjadi RTH. Karena kawasan Pulosari sudah menjadi ikon kuliner di Kota Malang. Disamping itu, Pemkot harusnya lebih bijak dan jangan menghentikan usaha milik warganya, sejauh ini mengais nafkah di sana,” tegas Arif.

Politikus Dapil Klojen ini berharap, Pemkot Malang ada solusinya dengan membenahi kawasan itu sesuai di RDTR. Karena pemkot sudah menghilangkan pemasukan tambahan nilai PAD atas peniadaan sewa aset sejak tahun 2014.

“Kami melihat para pedagang di sana merasa terombang-ambingkan nasibnya. Mereka mau memperpanjang surat sewa lima tahunan plus membayar sewa retribusinya ditolak oleh Pemkot. Sebaliknya, pemkot mengayomi bukan membuat keresahan,” pungkasnya.(Afd/And/Red)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top