Jurnalis Senior Tuban Ungkap Perbedaan Peran Pers dan Medsos

TBU menjadi nara sumber di Studi Podcast Cethik Geni.

Reporter : Royvi Novriansyah

TUBAN, SUARADATA.com-Jurnalis senior Kabupaten Tuban, Teguh Budi Utomo telah menerangkan detail tentang perbedaan peran pers dan Media Sosial (Medsos).

Hal itu disampaikan TBU sapaan akrabnya Teguh Budi Utomo disaat menjadi nara sumber Podcast dengan tema “Pers versus Medsos” di Studio Cethik Geni Jalan Panglima Sudirman Tuban, pada Kamis (27/5/2021) malam.

Sebelum memulai ke topik dan tema, TBU dipandu tiga host antara lain Novi Yudhanegara, Pito Soewarsono dan Rara Langit.

Sebelum memasuki pokok pembahasan, Teguh mengawali dengan menceritakan awal mula dirinya menjalani profesi sebagai seorang jurnalis di era Orde baru, masa reformasi hingga sekarang.

“Profesi ini adalah pilihan, saya memulai menjadi jurnalis sejak tahun 1990, jadi saya merasakan pada masa orde baru pers, pelakunya, kebijakannya serta pemerintahan kala itu seperti apa,” ujarnya.

Lalu TBU dengan rinci menjawab pertanyaan dari Host Novi Yudhanegara tentang peristiwa yang berkesan, menarik ataupun menegangkan selama menjalani profesi menjadi seorang wartawan ini dengan santai.

“Pada masa orde baru, pers diawasi oleh pemerintah melalui departemen penerangan, sebab waktu itu belum ada kebebasan pers,” ucapnya.

TBU mengatakan, kala itu timbul ketegangan antara pers dan pemerintah yang kebijakannya mengontrol pers agar tidak menulis bersifat merugikan dan mendiskreditkan. Sedangkan, seorang jurnalis mempunyai beban moral kepada publik.

“Bahkan ada pelarangan penguatan berita tertentu yang dipandang bisa membikin ketidaknyamanan pemerintah. Sekaligus dinilai akan memunculkan ketidakseimbangan dan kegaduhan dimasyarakat menurut parameter mereka (pemerintah),” bebernya.

Selanjutnya TBU menjelaskan, setiap pemberitaan dari insan pers selalu mengusung prinsip-prinsip jurnalistik. Selanjutnya, saat turun ke lapangan untuk melakukan penggalian informasi ataupun investigasi.

“Bagi seorang jurnalis, informasi hanya pijakan awal untuk memulai kinerja jurnalisme, sehingga berbeda dengan medsos,” kata Teguh.

Menanggapi penggambaran host Novi mengenai kalahnya pers dengan medsos tentang kecepatan dalam menyampaikan informasi ke publik. Teguh merasa hal tersebut merupakan hanya perbedaan sudut pandang saja.

“Bagi orang yang mengenal pers, ini bukan sebuah peperangan namun hanya pilihan,” jelasnya.

Pria asal Rengel Kabupaten Tuban ini menjabarkan, media sosial hanya lebih dahulu memunculkan informasi kepada publik. Namun, bukan sebuah hasil produk berita.

“Ini realita kemajuan teknologi informasi, tapi publik juga punya hak untuk mendapatkan informasi yang benar, sudah terverifikasi, validasinya bisa dipertanggungjawabkan sesuai kinerja pers,” terangnya.

Dalam penjelasannya TBU mencontohkan, ketika ada informasi di medsos yang mencantumkan sebuah kejadian beserta fotonya. Namun, yang terjadi bahwa hasil dokumentasi diunggah tersebut merupakan kejadian sudah lama berlalu. Tetapi, diberi penanggalan yang baru.

“Di medsos tidak ada pertanggung jawaban, bilamana informasi tersebut tidak digugat dan dituntut secara hukum oleh seseorang,” ungkapnya.

Sedangkan pada pers, menurut Teguh, munculnya informasi dalam bentuk berita bisa dipertanggungjawabkan. Karena ada beberapa hal yang menjadi kewajiban bagi insan media. Yaitu melakukan verifikasi terhadap informasi, lalu kroscek data, kroscek dilapangkan dan menggunakan narasumber.

“Narasumber adalah orang yang dekat dengan peristiwa termasuk pelaku, orang yang memiliki kompetensi terhadap kejadian,” imbuhnya.

Mengenai sudut pandang kalahnya pers dengan media sosial dalam kecepatan penyampaian informasi awal ke publik, TBU menerangkan, pada media mainstream, produk insan pers telah mencukupi etika jurnalistik.

“Semua pemberitaan media mainstream tetap menggunakan verifikasi dan temuan di lapangan, tanpa itu tidak layak disebut berita,” tegasnya.

Sehingga TBU mengamini, bahwa tetap lebih cepat medsos untuk menyampaikan informasi awal ke publik. Karena siapapun bisa melakukannya, walaupun penggunaan medsos memiliki regulasi-regulasi yang harus ditaati.

“Ini yang sering terlupakan karena emosional, euforia menikmati kebebasan berekspresi sehingga publik bebas mengunggah apapun ke medsos,” sambungnya.

Sedangkan TBU membeberkan, etika jurnalisme tidak menyarankan atau membolehkan terlalu mendramatisir. Apalagi menyebarkan karya gambar atau foto yang tidak pantas untuk di sampaikan ke publik.

“Sehingga ada perbedaan perspektif antara sudut pandang mana yang lebih cepat menyampaikan informasi,” sebutnya.

Menjelang akhir perbincangan TBU menyampaikan, ada Netizen Jurnalis atau jurnalis warga masyarakat dan jurnalis milik media massa yang berbadan hukum. Sehingga, siapapun bisa mengekspos sebuah kejadian karena ada undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran ataupun temuan.

“Namun ada undang-undang ITE nomor 19 tahun 2016 yang mengatur kebebasan tersebut,” jelas pria ramah ini.

Lebih lanjut TBU mengatakan, manakala ada pelaku media sosial, mengunggah sebuah peristiwa yang ternyata menyudutkan dan mencemarkan nama baik orang lain bisa terkena undang-undang ITE ini. Tentu hal ini berbeda terjadi kepada pers melakukan kekeliruan dalam pembahasan penulisan media ada hak-hak, koridor-koridor dan tahapan yang harus dilalui oleh orang minta hak koreksi, hak jawab.

“Ini yang membedakan antara medsos dan media massa,” timpalnya.

Ketika disinggung mengenai pendidikan jurnalisme ke masyarakat, TBU menyampaikan, jika publik mengalami keterbatasan informasi tentang pers atau jurnalisme. Seringkali menganggap bahwa apapun yang diunggah ke media sosial adalah sebuah produk berita.

“Sebenarnya organisasi pers seperti PWI, AJI, IJTI, RPS sudah berupaya melakukan edukasi dengan melakukan pelatihan jurnalistik,” pungkasnya.(Roy/And/Red)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top